Tiga orang pemuda tampak sedang berjalan menyusuri sebuah jalan setapak di pinggiran hutan Sonokeling, usia mereka hampir sepantaran, kecuali seseorang yang berbadan gendut terlihat lebih tua. Mereka adalah Karsono yang wajahnya paling tampan, Warijan yang kurus dan Kasmo. Berasal dari satu desa yang sama dengan tujuan sama pula, berguru kepada Ki Ambal Wojo di lereng Gunung Lengko.
“Mengapa ayahmu menyuruh kita untuk pergi berguru ke gunung Lengko, Kar? Padahal sebenarnya, kami ingin mengajakmu berguru ke Ki Sapto Wiso di gunung Penanggungan?” tanya Kasmo yang mulai terlihat ngos-ngosan, seakan tidak kuat menyangga tubuh gendutnya lagi.
“Kamu tidak mendengar waktu Romoku memberikan penjelasannya kemarin, Mo? Ki Ambal Wojo itu masih tergolong Kakek Guruku, beliau adalah guru Ayah dan Ibuku. Termasuk guru ayahmu, juga ayah Warijan.”
“Betul itu, Mo. Kemarin sebelum berangkat, ayahku juga mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan Karsono. Ayah-ayah kita itu saudara seperguruan, makanya mereka mempersaudarakan kita juga dalam berguru.” Warijan yang bertubuh kurus itu mencoba menambahi keterangan Karsono.
Tiba-tiba langkah ketiganya terhenti. Karena terlalu asyik bercakap-cakap, sehingga mereka tidak menyadari kehadiran seseorang yang berdiri di samping jalan mereka. Seorang gadis cantik berambut panjang dengan kain merah melingkar di kepalanya, sudah berdiri dengan gagahnya di sana.
“Eh, siapa kamu?!” seru Kasmo terkejut, sambil melompat satu langkah ke belakang.
Gadis cantik itu malah tertawa, melihat tiga orang pemuda yang berhasil dikejutkannya itu.
“Dasar tidak sopan, ditanya malah ketawa!” hardik Warjiman tertahan, diantara gemetaran tubuhnya.
“Kalian yang tidak sopan. Sudah memasuki hutan di wilayah kami, dengan tanpa ijin!” gadis cantik itu terlihat garang saat menyeru, ketiga orang pemuda itu sampai melompat ke belakang karena kaget.
“Tunggu dulu, mengapa kamu menuduh kami sudah memasuki wilayah hutanmu?” Kartono membuat satu isyarat kepada kedua sahabatnya, untuk melakukan percakapan dengan sang gadis.
“Apa kalian tidak sadar ketika memasuki gapura jalan di bawah sana? Atau kalian semua tidak bisa membaca, ya?” gadis itu tertawa ngakak lagi, setelah menyelesaikan pertanyaannya.
“Gapura apa? Kami tidak melihat atau merasa melewatinya?”
“Dasar bodoh! Dua batang pohon Randhu (kapuk) di kanan kiri jalan itulah gapura kami, dan batu di samping jalan setelahnya bertuliskan: Selamat Datang di Padepokan Getas Wojo!”
Ketiga pemuda itu hanya bisa melongo, sambil saling berpandangan satu dengan lainnya. Mereka benar-benar tidak ada yang menyadari, tentang keberadaan tempat yang dikatakan gadis itu.
“Siapa kalian? Hendak pergi ke mana? Mengapa memasuki wilayah kami?” seperti kilat yang sambar-menyambar, pertanyaan gadis cantik sepuluh tahunan itu keluar dari bibir kecilnya.